TUGAS
KELOMPOK
PERKEMBANGAN
& BIMBINGAN PESERTA DIDIK
PERKEMBANGAN
EMOSI, NILAI, MORAL & SIKAP DAN INFLIKASINYA DALAM PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN
OLEH:
KELOMPOK
II
1.Abd.
Wahid
2.Andik
Hajrah
3.Jamilah
4.Desy
Ratnasari
KELAS
: B
Dosen Pengampu : S. Fauzana Fakhruzi, S.Pd
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2013
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah perkembangan & bimbingan
peserta didik.
Makalah ini berisi tentang perkembangan emosi, nilai,
moral, dan sikap. Makalah ini juga membahas bagaimana cara perkembangan emosi,
nilai, moral dan sikap dalam penyelenggaraan pendidikan. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini, sehingga makalah ini dapat tersusun dengan sebaik-baiknya. Penulis
berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca..
Penulis
menyadari bahwa karya ilmiah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun demi perbaikandan kesempurnaan karya ilmiah ini sangat
penulis harapkan.
Terima kasih.
Kata Pengantar ................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................ ii
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB II. Pembahasan
A. Teori Bimbingan Konseling ........................................................... 3
1. Konseling Trait & Factor .......................................................... 3
2. Konseling Rational Emotive .................................................... 6
3. Konseling Behavioral ................................................................ 9
4. Konseling Psikoanalisa ........................................................... 11
5. Konseling Psikologi Individual ................................................ 12
6. Konseling Analisis Transaksional ............................................. 13
7. Konseling Client Centered ...................................................... 14
8. Konseling / Terapi Gestalt ...................................................... 16
Penutup .............................................................................................................. 18
Daftar Pustaka .................................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Selain
aspek kognitif dan psikomotorik, aspek afektif juga sangat penting dalam
menentukan hasil pembelajaran. Tipe hasil belajar afektif tampak pada sisiwa
dalam berbagai bentuk tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran,
disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar
dan hubungan sosial.hasil belajar ranah afektif sangat erat kaitannya dengan
nilai-nilai, moral dan sikap dari masing-masing siswa yang bersangkutan.
Pemahaman guru tentang perkembangan aspek afektif siswa merupakan hal yang
sangat penting untuk keberhasilan belajarnya, aspek afektif tersebut dapat
terlihat selama pembelajaran terutama ketika siswa bekerja kelompok. Oleh
karena itu, selama pembelajaran ( termasuk saat siswa kerja kelompok)
guru senantiasa terus memantau dan mengamati aktivitas siswanya.
Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya
adat kebiasaan dan sopan santun . Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik
buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Dengan kata
lain bahwa moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan perbuatan yang
benar dan yang salah sebagai alat kendali dalam bertingkah laku. Moral sering
dianggap sebagai prinsip dan patokan yang berhubungan dengan benar dan salah
oleh masyarakat tertentu, dapat pula diartikan sebagai perilaku yang sesuai
dengan norma benar atau salah tersebut. Disamping nilai dan moral ada juga
sikap, yang menurut Gerung sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan
bereaksi individu terhadap sesuatu hal . Sikap merupakan motif yang mendasari
tingkah laku seseorang.
Antara
nilai, moral dan sikap serta tingkah laku memiliki keterkaitan yang tampak
dalam penerapan atau pengalaman nilai-nilai tersebut. Dimana nilai-nilai perlu
dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan
terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan akhirnya terwujud
tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
Setiap
individu memiliki tingkat perkembangan nilai, moral dan sikap yang berbeda-beda
antara yang satu dengan yang lain. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa factor
yang secara umum dipengaruhi oleh factor lingkungan dan factor usia. Untuk
lebih jelasnya akan dijelaskan dalam makalah kami yang akan membahas tentang
factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, sikap dan moral, perbedaan
individu dalam perkembangan nilai,moral dan sikap serta upaya mengembangkan
nilai,moral dan sikap remaja serta implikasinya dalam penyelenggaraan
pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN EMOSI DAN IMPLIKASINYA DALAM
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1.
Pengertian Emosi
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh
perasaan-perasaan tertentu, seperti senang atau tidak senang, suka atau tidak
suka, atau sedih dan gembira. Perasaan yang terlalu menyertai perbuatan-perbuatan
kita sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang
kuat, kadang-kadang lemah, atau kadang-kadang tidak jelas. Apabila warna
afektif tersebut kuat, proses seperti itu dinamakan emosi (Sarlito, 1982:59).
Beberapa contoh emosi yang lainnya adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas,
malu, kecewa, benci.Rasa marah, kesal, sedih atau gembira adalah hal yang wajar
yang tentunya sering dialami remaja meskipun tidak setiap saat. Pengungkapan
emosi itu ada juga aturannya. Supaya bisa mengekspresikan emosi secara tepat,
remaja perlu pengendalian emosi. Akan tetapi, pengendalian emosi ini bukan
merupakan upaya untuk menekan atau menghilangkan emosi melainkan:
a. Belajar menghadapi situasi dengan sikap rasional
b. Belajar mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c. Bagaimana memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d. Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau marah)
Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya.
Karena itu, keterampilan mengelola emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat secara emosional. Keterampilan mengelola emosi misalnya sebagai berikut:
a. Mampu mengenali perasaan yang muncul
b. Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan
c. Mampu mengelola perasaan
d. Mampu mengendalikan diri sendiri
e. Mampu mengurangi stress.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
a. Belajar menghadapi situasi dengan sikap rasional
b. Belajar mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c. Bagaimana memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d. Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau marah)
Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya.
Karena itu, keterampilan mengelola emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat secara emosional. Keterampilan mengelola emosi misalnya sebagai berikut:
a. Mampu mengenali perasaan yang muncul
b. Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan
c. Mampu mengelola perasaan
d. Mampu mengendalikan diri sendiri
e. Mampu mengurangi stress.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
2.
Karakteristik
Perkembangan emosi
Masa remaja sering dianggap sebagai periode badai dan
tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan
fisik dan kelenjar. Meningginya emosi disebabkan remaja berada di bawah tekanan
sosial, dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk
menghadapi keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan.
Sebagian dari mereka memang mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari
penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru.
3.
Pengaruh
Emosi terhadap Tingkah Laku
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang
mengalami gangguan emosi dan menjadi gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi
kering, jantung berdetak cepat, dan lain-lain. Gangguan emosi juga dapat
menjadi penyebab seseorang kesulitan berbicara. Ketegangan emosional yang cukup
lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang yang gagap sering dapat
berbicara secara normal jika dalam keadaan rileks atau senang. Namun, jika dia
dihadapkan pada situasi-situasi yang menyebabkan kebingungan
Perilaku ketakutan, malu-malu atau agresif dapat disebabkan
oleh ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda terhadap
setiap orang yang kita jumpai maka akan timbul emosi tertentu. Seorang siswa
bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi karena
sesuatu yang terjadi pada situasi belajar di kelas. Jika ia merasa malu karena
gagal dalam menjawab soal tes lisan, pada kesempatan lain, ia mungkin menjadi
takut ketika menghadapi tes tertulis. Akibatnya, ia memutuskan untuk membolos,
atau mungkin melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu melarikan diri
dari orangtua, guru, atau otoritas lain.
4.
Implikasi
Pengembangan Emosi Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Sehubungan dengan emosi remaja yang cenderung banyak melamun
dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat guru lakukan adalah
memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tanggung jawab moral.
Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing
dengan diri sendiri.
Perlu disadari bahwa remaja berada dalam keadaan yang
membingungkan dan sulit diterka perilakunya. Dalam banyak hal, ia bergantung
pada orangtua tentang keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban
kepada pengasuhan yang mereka berikan saat dia tidak mampu memelihara dirinya
sendiri. Namun, ia juga merasa ingin bebas dari otorita orangtuanya agar
menjadi orang dewasa yang mandiri. Hal itu memicu terjadinya konflik dengan
orangtua. Apabila terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa
bersalah, yang selanjutnya dapat memperbesar jurang pemisah antara dia dan
orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap kondisi tersebut
mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia
pribadinya kepada orang lain. Oleh karena itu, seorang guru pembimbing
hendaknya tampil berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang bersimpatik.
B. PERKEMBANGAN
NILAI, MORAL DAN SIKAP BESERTA IMPLIKASINYA DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
1. Nilai
Dalam
kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut Spranger,
nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu
untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada
tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial
sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui
kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective
spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive
spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif,
sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh
objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
2. Moral
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam
kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan
ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.[3]
Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar
baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas
merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan
demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan
keharmonisan.
3. Sikap
sikap
adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten
terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari,
mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam
bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan
dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat
diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau
situasi.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah:
a. Menciptakan Komunikasi
Dalam
komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral.
Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus
bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak
harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya yang
mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan
keluarga. Sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Disekolah
para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek
moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak melakukan
sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai
atau norma moral.
b. Menciptakan Iklim Lingkungan
yang Serasi
Seseorang
yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki
sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah
seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen
yang senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai
hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku
nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan
intelektual semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana
factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari
nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas
dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan
sosial terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina
yaitu orang tua dan guru.
Tahap-tahap
perkembangan moral pada remaja telah mencapai pada tahap moralitas hasil
interaksi seimbang yaitu secara bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral
dari orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja
terdapat lima perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
- Pandangan moral remaja mulai
menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku remaja yang suka
saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata mutiara.
- Pandangan moral remaja sering
terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga remaja sangat
antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
- Penilaian moral pada remaja
semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang mendorong remaja
mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis terhadap
berbagai masalah moral yang dihadapinya.
- Penilaian moral yang dilakukan
remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat egosentris menjadi
sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan dalam kegiatan
memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang
untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
- Penilaian moral secara psikis
juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat merupakan sumber emosi
dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis. Sehingga pada akhir masa
remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi kenyataan hidup dan menjadi
barang berharga dalam hidupnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2010. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2198158-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-perkembangan. Diakses tanggal 13 Maret 2012.
Hartinah, Sitti. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama.
Jufri, A. Wahab. 2010. Belajar
dan Pembelajaran Sains. Mataram: Arga Puji Press.
Sunarto dan Ny. B. Agung
Hartono.2008. Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar